Oleh: Aushaf Salsacita Anwarismail
Berapa kali kita mengira sedang memilih dengan bebas di dunia digital ini? Berapa kali kita merasa keputusan yang kita ambil adalah murni suara hati kita sendiri? Dan berapa kali akhirnya kita tersadar bahwa jalan yang kita yakini benar ternyata hanyalah jalan sempit yang dibentuk oleh algoritma? Ironisnya, di era ketika kita tidak lagi diperbudak oleh kolonialisme fisik, kita justru terikat pada bentuk perbudakan baru, perbudakan digital.
Hal ini tentu saja merupakan sesuatu yang menarik perhatian saya. Seperti penelitian yang dipaparkan oleh berbagai riset literasi digital seperti penelitian tentang pengaruh algoritma yang ditulis oleh Wulandari, media sosial bukan hanya ruang untuk berbagi, tetapi juga ruang di mana algoritma menentukan apa yang kita lihat, dengar, dan percayai. Fenomena filter bubble dan echo chamber membuat kita seakan hidup dalam kebenaran sendiri, padahal sesungguhnya kita hanya terjebak pada jalan yang dibentuk oleh sistem. Kita merasa aman, karena semua yang tampil sesuai preferensi kita. Namun, kenyamanan itu adalah ilusi. Kenyataannya, kita sedang dipenjara dalam ruang yang tampak bebas.
Di balik layar, algoritma bekerja sebagai tangan tak terlihat. Ia mengelompokkan, memilah, lalu memaksakan pilihan yang dianggap cocok. Apa yang kita sukai, apa yang kita percayai, dan bahkan apa yang kita perjuangkan, sering kali hanyalah hasil dari rekayasa yang tak kita sadari. Pertanyaannya, apakah ini benar-benar pilihan kita? Ataukah kita hanya menjadi korban dari mesin yang menyetir arah hidup digital kita?
Kita bisa melihat contohnya dari bagaimana obsesi terhadap suatu konten atau tren berkembang begitu cepat. Mulai dari rekomendasi tontonan, produk, hingga isu politik yang viral, semua dikendalikan oleh algoritma yang memanipulasi atensi. Banyak dari kita rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya karena disuguhi hal yang sama berulang kali. Sama seperti demonstrasi yang menggedor pintu demokrasi namun tak dihiraukan, begitu pula jeritan kesadaran digital yang sering tertelan dalam kebisingan algoritmik.
Namun, di tengah situasi yang penuh jebakan ini, selalu ada ruang untuk melawan. Seperti saya, rekan-rekan mahasiswa, dan khususnya generasi muda, sebenarnya kita memiliki peran penting sebagai garda terdepan literasi digital. Kesadaran bahwa kita bisa mengkritisi, memilah, dan tidak hanya menerima apa yang disodorkan algoritma, adalah kunci agar kita tidak terus menerus menjadi budak digital. Tapi, sama halnya dengan demokrasi, pertanyaannya tetap sama: pintu kesadaran digital mana yang harus kita ketuk? Apakah kita akan terus mengetuk pintu algoritma yang menyesatkan, atau berani mencari pintu yang mengantarkan pada kebebasan berpikir?
Fenomena digital slavery adalah bukti bahwa kebebasan di ruang maya penuh dengan celah. Algoritma yang seolah netral ternyata sarat kepentingan ekonomi, politik, bahkan ideologi. Jika kita membiarkan diri larut tanpa kesadaran, maka masa depan kita adalah masa depan yang diarahkan, bukan dipilih.
Karena itu, kita harus bangkit. Menyadari bahwa “jalan yang benar” yang ditawarkan algoritma bisa jadi hanyalah jebakan yang menyesatkan. Dengan kesadaran literasi digital, dengan keberanian untuk mempertanyakan, kita bisa keluar dari perbudakan ini. Sebab pada akhirnya, kebebasan sejati bukanlah menerima begitu saja apa yang ditentukan mesin, tetapi memilih dengan sadar apa yang benar-benar kita yakini.