![]() |
Disemenasi Laporan Riset WALHI Jatim Sumber: Dokumentasi EcoPedia |
Pada Jumat (15/02/2025), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur (Jatim) menggelar diseminasi laporan riset terkait praktik co-firing biomassa di PLTU Paiton. Dalam laporan tersebut, WALHI menduga bahwa skema co-firing lebih bertujuan mempertahankan industri batu bara daripada menjadi langkah nyata dalam transisi energi.
PLTU Paiton telah menerapkan skema co-firing sejak Juli 2020 sebagai upaya mengurangi emisi dari penggunaan batu bara. PLN mengklaim bahwa pemanfaatan bahan bakar biomassa dapat membantu mencapai target transisi energi dan menekan emisi karbon. Namun, dalam praktiknya, bahan biomassa yang digunakan hanya sekitar 5% hingga 10% yang berasal dari sumber seperti pelet kayu dan cangkang sawit, sementara sebagian besar bahan bakar tetap bergantung pada batu bara.
Baca juga: Kebersihan Lingkungan Kodam, Upaya Bersama Pedagang dan Pengunjung
Lila, anggota riset WALHI Jatim, menilai bahwa fungsi utama skema co-firing biomassa ini lebih berfungsi untuk mempertahankan operasional PLTU agar tidak dipensiunkan. “Co-firing ini dianggap hijau hanya sebagai label saja, agar PLTU tidak dipensiunkan. Ada bisnis besar di dalamnya yang harus tetap berjalan, bukan hanya soal kehidupan buruh, tapi juga bisnis dari hulu ke hilirnya, termasuk batu bara yang tetap harus digunakan,” ujarnya.
![]() |
Infografis Co-firing Sebagai Transisi Energi Palsu (EcoPedia: Rifqi) |
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik, PLTU Paiton termasuk dalam daftar 13 PLTU yang direncanakan untuk dipensiunkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akibat tingginya emisi yang dihasilkan. Namun, dengan adanya praktik co-firing biomassa ini, rencana pemensiunan tertunda tanpa batas waktu dengan dalih transisi energi.
Menurut laporan WALHI Jatim, penundaan pemensiunan PLTU Paiton justru semakin memperburuk kondisi lingkungan sekitar. Kebijakan co-firing tidak hanya gagal mengurangi emisi yang ditimbulkan oleh batu bara, namun juga berpotensi menyebabkan deforestasi akibat meningkatnya kebutuhan biomassa. “Dari skema ini muncul masalah baru, dan yang paling serius adalah deforestasi. Co-firing ini juga tidak menggunakan sembarang tanaman, melainkan jenis tertentu seperti gamal. Karena membutuhkan pasokan dalam jumlah besar jadi, hutan alami itu digantikan dengan hutan produksi melalui skema Hutan Tanaman Energi (HTE),” jelas Lila.
Tak hanya masalah deforestasi, terdapat dua kecamatan di Kabupaten Probolinggo yang memiliki akses dekat dengan PLTU Paiton terkena dampak paling signifikan, yaitu Kecamatan Paiton dan Kecamatan Kotaanyar. “Nelayan tradisional biasanya mengandalkan ikan-ikan kecil sebagai penanda keberadaan ikan besar, tapi sekarang ikan-ikan kecil yang menjadi kompas itu menghilang karena debu PLTU yang mengambang di permukaan laut. Jadi, para nelayan berusaha melaut lebih jauh, yang otomatis biaya bahan bakar solar meningkat. Ini semakin menghimpit perekonomian masyarakat,” ungkap Haq, warga Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, dalam diseminasi laporan riset WALHI Jatim.
Sebenarnya, terdapat alternatif lain sebagai pengganti co-firing biomassa ini seperti penggunaan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization Storage (CCUS). Indri, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga menjelaskan bahwa teknologi ini memungkinkan penangkapan dan penyimpanan emisi karbon, sehingga lebih efektif dalam mengurangi polusi. Namun, teknologi ini tetap memiliki kekurangannya tersendiri. “Yang sering digunakan adalah Carbon Capture Storage atau Carbon Capture Utilization Storage. Kelemahannya dia mahal, tapi dia tidak menimbulkan masalah di daerah lain.” jelasnya.
Hingga kini masih menjadi pertanyaan mengapa pemerintah lebih memilih menggunakan skema co-firing biomassa yang ternyata telah dibuktikan lewat riset bahwa skema ini tidaklah menjadi solusi baik dalam mengatasi krisis lingkungan. Indri menilai bahwa skema ini lebih mengarah ke permainan politik daripada solusi nyata untuk transisi energi. “Kalau saya lihat di permainannya (skema co-firing), mereka bilangnya adalah itu (skema co-firing) demi sustainability. Ini hanya politik yang dimainkan saja. Skemanya co-firing, pakai transisi energi atau apapun. Ini sebenarnya hanya jargon yang kemudian untuk memperlancar politik,” imbuhnya. (cca/dyn)
Baca juga: Earth Hour Surabaya 2025 pada Gerakan Mini Switch Off Dorong Gaya Hidup Berkelanjutan